postingan kali ini merupakan terusan dari Pengertian Premi Asuransi, Tujuan Asuransi, serta Hukum Asuransi dalam islam
Hukum Asuransi Dalam islam
Hukum Asuransi menurut Islam berbeda
antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :Hukum Asuransi Dalam islam
1. Ansuransi Ta’awun
Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di
dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut :
- Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.
- Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.
- Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.
- Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.
2. Asuransi Sosial
Begitu juga asuransi sosial hukumnya
adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :
- Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu.
- Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.
3. Asuransi Bisnis atau Niaga
Adapun untuk Asuransi Niaga maka
hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ),
antara lain sebagai berikut :
Pertama: Perjanjian
Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang
bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena
pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang
akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali
atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan
jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak
pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun
tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa
menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad
secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra,
bahwasanya ia berkata :
َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
” Rasulullah saw melarang jual beli
dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain
yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no :
2787 )
Kedua: Perjanjian
Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung
unsur mukhatarah ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi
uang, juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada
kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa
imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima
asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi
kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus
membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak
ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari
seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi
ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian
yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (
QS. Al-Maidah: 90).
Ketiga: Perjanjian
Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus.
Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta
(penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang
yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan
membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk
riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak
nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan
kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para
ulama.
Keempat: Akad
Asuransi Bisnis juga mengandung unsur rihan ( taruhan )
yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan,
serta perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila
menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi
saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal
saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw
bersabda :
لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي
حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ
“ Tidak
ada perlombaan kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ),
atau yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih
Riwayat Abu Daud, no : 2210 )
Asuransi tidak termasuk dalam
kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.
Kelima: Perjanjian
Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil
harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena
termasuk yang dilarang dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’:
29).
Keenam: Perjanjian
Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan
oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya
dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar
bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan
bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai
imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi.
Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun
untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.
Perkembangan Asuransi di Indonesia
Asuransi Jiwa Konvensional pertama
kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan
OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.
Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra.
Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat
hingga tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju
pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah
: American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi
Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu
Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.
Adapun asuransi Syariah pertama kali
di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful.
Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi
konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga
laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34
perusahaaan lebih.
Rata-rata asuransi Syariah yang
disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah
menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu
menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu . Yang
benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah
adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.
Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT
Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance,
adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syariah adalah :
PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas.
Demikian Penjelasan mengenai Pengertian Premi Asuransi, Tujuan Asuransi, serta Hukum Asuransi dalam islam yang dapat Zerone blog berikan, smoga bermanfaat untuk sobat.
Asuransi terbaik adalah tawakal
Sources: http://www.arrahmah.com |
0 komentar
Post a Comment
Terimakasih sobat sudah berkunjung di Zerone Blog. Silahkan sobat beri komentar terhadap Artikel di atas!,
1. Jangan menggunakan kata - kata tidak baik
2. Di larang SPAM
3. Dan Harap tidak meletakan link Aktive
Terimakasih atas perhatiannya.